Laman

Rabu, 27 Oktober 2010

EPISTEMOLOGI IRFANI

Nama: Endah wahyuningsih
NIM: 08410023
Absen: 05
Epistemologi Irfani
Epistemologi mempunyai arti bahwasannya bagaimana cara kita mengetahui sesuatu. Pengetahuan yang masuk kedalam hati, lebih kepada kebijakan, kearifan. Yaitu melalui pengalaman langsung/antuisi (filsafat). Baik melalui rasio, indera, maupun Intuisi. Intuisi itu sendiri mempunyai arti suatu pengetahuan yang keluar dari dalam diri kita (rasa/firasat) yang muncul secara tiba-tiba, tidak terduga.Proses pendekatannya:
Motivation
Self awweners
Self regulation
Empaty
Social skill
Sumber untuk mengetahuinya melalui Experience. Intinya segala sesuatu yang berhubungan dengan hati/pendekatan spiritual yang langsung berhubungan dlangsung dengan Tuhan.
Produk ilmu yang dihasilkan dari epistemology irfani salah satunya akhlak dan tasawuf.
Implikasi pemikaran:
 Semakin arif
 Semakin bijak
 Empati

Epistimologi Bayani

Oleh : wulanjar nurhayati
08410080
Bayani adalah suatu epistimologi yang mencakup disipiln-disiplin ilmu yang berpangkal dari bahasa Arab (yaitu nahwu, fikih dan ushul fikih, kalam dan balaghah).
Epistimologi ini dapat dipahami dari 3 segi yaitu :
1. Segi aktivitas pengetahuan
Dalam hal ini bayani dipahami sebagai “tampak-menampakkan” dan “paham-memahamkan”.
2. Diskursus pengetahuan
Bayani dipandang sebagai dunia pengetahuan yang dibentuk oleh ilmu Arab Islam murni, yaitu ilmu bahasa dan ilmu agama,
3. Sistem pengetahuan
Bayani dapat dipahami sebagai kumpulan dari prinsip-prinsip, konsep-konsep, dan usaha-usaha yang menyebabkan dunia pengetahuan terbentuk tanpa didasari.
Dalam sejarahnya, aktivitas bayani sudah dimulai sejak munculnya pengaruh Islam, tetapi belum merupakan kajian ilmiah seperti identifikasi keilmuan dan peletakkan aturan penafsiran teks. Tahap selanjutnya adalah mulai munculnya usaha untuk meletakkan aturan penafsiran wacana bayani, tetapi masih terbatas pada pengungkapan karakteristik ekspresi bayani dalam AL Qur’an. Dalam bahasa Arab sendiri bayani terbatas pada tinjauan bahasa dan gramatikanya saja. Proses peletakan aturan-aturan penafsiran wacana bayani (dalam bentuknya yang baku dan tidak dalam aspek linguistiknya saja) dilakukan oleh Imam al Syafi’i. Imam Syafi’I adalah orang yang pertama memposisikan al Sunnah sebagai nash kedua. Nash tersebut berfungsi sebagai mushari’ (penetap hukum), perluasan cakupan al Sunnah yang dengan tidak secara tegas membedakan antara “sunnah-tradisi” dan “sunnah-wahyu” serta pembatasan runag gerak ijtihad dengan nash (Al Qur’an dan Al Sunnah).
Al Syafi’I berhasil membakukan cara-cara berfikir yang menyakut hubungan antara lafaz dan makna serta hubungan antara bahasa dan teks al-Qur’an. Ia juga merumuskan aturan-aturan bahasa Arab sebagai acuan untuk menafsirkan al-Qur’an. Ia menjadikan al-Qur’an, Hadis,Ijma dan Qiyas sebagai sumber penalaran yang absah untuk menjawab persoalan-persoalan dalam masyarakat. Berpikir menurut beliau adalah berpikir dalam kerangka nash sehingga bayani terdapat 2 dimensi yang fundamental, yakni usul (prinsip-prinsip primer) yang darinya muncul prinsip sekunder (far’) dan “aturan-aturan” penafsiran wacana yang terungkap dari prinsip-prinsip fundamental tersebut.
Sedangkan al-Jahiz berusaha mengembangkan bayani tidak hanya terbatas pada “memahami” tetapi berusaha membuat pendengar atau pembaca faham akan wacana. Bahkan ia iangin membuat pendengar memahami, menenangkan pendengar, menuntaskan perdebatan dan membuat lawabn bicara tidak berkutik lagi. Ibn Wahab sendiri berusaha untuk mensistematikanya denagn cara merumuskan kembali teori bayani sebagai metode dan sistem mendapatkan pengatahuan.
Jadi pada kesimpulannya dalam epistimologi bayani sumber pengetahuan berasal dari teks atau nash. Analisis yang digunakan dalam bayani adalah dengan asl-far’, lafz-ma’na, jawhr-‘ard, dan khabr-qiyas. Pendekatan yang digunakan adalah dengan pendekatan lughawiyah. Sementara metode yang dipakai adalah qiyas, istinbat, tajwiz, ‘adah. Sehingga peran akal disini senagai justifikasi karena menggunakan argumen yang bersifat jadaliyyah. Sesuatu dapat dikatakan valid jika adanya kedekatan teks dan kenyataan. Prinsip dasar dari epistimologi bayani adalah infisal (atomistik) dan tajwis. Yang mendukung epistimologi ini adalah fuqaha, usuliyin dan mutakalimin. Hubungan antara subjek dan objek cenderung bersifat subjektif.

EPISTEMOLOGI BURHANI

oleh: Ifah Nur Lailiyah (08410090)

Secara singkat epistemologi bisa diartikan sebagai filsafat ilmu pengetahuan, yakni filsafat mengenai cara mengetahui kebenaran. Cara mengetahui kebenaran disini ada tiga macam. Yang pertama, adalah melalui rasio. Cara mengetahui kebenaran melalui rasio inilah yang dianut oleh aliran Rasionalism atau kalau dalam filsafat kontemporer biasa disebut dengan aliran idealism. Aliran ini pada akhirnya membentuk nalar bayani (tekstual). Kedua, adalah melalui intuisi. Cara ini dilakukan oleh penganut aliran intuitism yang mencari kebenaran melalui firasat dan pada akhirnya membentuk nalar irfani. Kemudian yang ketiga, adalah melalui indera. Cara mengetahui kebenaran yang seperti ini dianut oleh paham empirism atau juga bisa disebut materialism. Paham inilah yang pada akhirnya membentuk nalar burhani. Dan dalam bab ini saya akan mengkhususkan membahas mengenai nalar burhani atau juga bisa disebut epistemologi burhani.
Dalam pengertian yang sempit, burhani adalah aktivitas pikir untuk menetapkan kebenaran pernyataan melalui penalaran. Sedangkan dalam pengertian luas, burhani adalah setiap aktivitas pikir untuk menetapkan kebenaran pernyataan.
Epistemologi burhani bisa dipandang dalam dua sudut, yaitu sebagai aktivitas pengetahuan dan sebagai diskursus pengetahuan. Sebagai aktivitas pengetahuan, Burhani adalah episteme yang beragumentasi secara deduktif. Sedangkan sebagai diskursus pengetahuan, burhani merupakan dunia pengetahuan falsafah yang masuk ke budaya arab Islam melalui terjemahan dari karya-karya Aristoteles.
Para pemikir muslim yang menerapkan episteme burhani di antaranya seperti, Ibn Rusyd, al-Syatibi, dan Ibn Khaldun. Ibn Rusyd berusaha menerapkan dasar-dasar episteme burhani dengan cara membela argumen secara kausalitas, yakni proses penelusuran terhadap akibat-akibat sesuatu ke sebab-sebabnya sebalum menuju ke sebab utamanya, yakni Allâh swt. Usaha Ibn Rusyd tersebut kemudian dilanjutkan oleh al-Syatibi dalam disiplin ushul fiqh. Beliau mengemukakan bahwa disipin ushul fiqh didasarkan pada prinsip “kulliyyah al-syar’iyah” (ajaran-ajaran universal dari agama) dan pada prinsip “al-maqosid al-syar’i” yang befungsi sebagai pembentuk unsur-unsur penalaran burhani. Sedangkan Ibn Khaldun penerapan episteme burhani sangat terlihat jelas dalam karyanya yang berjudul ‘al-Muqaddimah’. Pada awalnya, Ibn Khaldun menjelaskan riwayat hidup para pendahulu, kemudian menganalisis satu peristiwa ke peristiwa berikutnya dalam setiap babnya kemudian menarik kesimpulan dan pelajaran dari setiap kasus dan peristiwa itu. Jika dilihat, dalam kitab ‘al-Muqaddimah’ tersebut, Ibn Khaldun ingin menunjukkan pengetahuan tentang bagaimana negara-negara dari awal terbentuknya hingga proses kejatuhannya. Hal ini menunjukkan bahwa Ibn Khaldun berusaha menjadikan sejarah sebagai ilmu Burhani. Sejarah yang ditulisnya adalah sejarah ilmiah yang berintikan “penelitian, penyelidikan, dan analisis yang mendalam akan sebab-sebab dan latar belakang terjadinya sesuatu. Selain itu sejarah juga berintikan pengetahuan yang akurat tentang asal usul, perkembangan serta riwayat hidup dan matinya kisah peradaban manusia”.

Selasa, 26 Oktober 2010

Catur Wahyuning I

EPISTEMOLOGI
Secara etimologis, kata Epistemologi berasal dari bahasa Yunani berarti episteme yang berarti knowledge (pengetahuan) dan logos berarti the study. Secara harfiah, epistemologi berarti “studi atau teori tentang pengetahuan”. Dalam diskursus filsafat, epistemologi merupakan cabang dari filsafat yang membahas asal usul, struktur, metode-metode dan kebenaran pengetahuan.
Dengan demikian, pengertian epistemologis lebih luas dari pada filsafat ilmu sebab pengetahuan itu ada yang ilmiah, ada yang biasa dan ada pula yang semi ilmiah. Pengetahuan yang ilmiah itulah yang disebut lmu.
Pada awalnya pembahasan epistemologi terfokus pada sumber pengetahuan dan teori tentang kebenaran. Ada tiga pokok yang dibicarakan dalam epistemologi
  1. Apakah penegtahuan bersumber pada akal pikiran semata, indera, atau intuisi.
  2. Apakah “kebenaran” pengetahuan itu apat digambarkan dengan pola korespondensi, koherensi ataukah praktis-pragmatis.
  3. Selanjutnya pembahasan epistemologi mengalami perkembangan, yakni pembahasannya terfokus pada sumber pengetahuan, proses dan metode untuk memperoleh pengetahuan, cara untuk membuktikan kebenaran pengetahuan, dan tingkat-tingkat kebenaran pengetahuan.
Berbicara tentang epitemologi (pengetahuan), plato dipandang sebagai peletak dasar idealisme-rasionalisme. Menurut Plato, hasil pengamatan inderawi tidak memberikan pengetahuan yang kokoh karena sifatnya selalu berubah-ubah sehingga tidak dapat dipercaya kebenarannya. Ia lebih percaya kepada apa yang ada di balik wilayah pengamatan indera, yaitu dunia ide. Dunia ide bersifat tetap, tidak berubah-ubah, kekal dan merupakan alam yang sesungguhnya ( tidak bertumpu pada fakta empiris ).
Aristoteles tidak sependapat dengan Plato, menurut dia, manusia memperoleh pengetahuan melalui proses pengamatan inderawi yang panjang ( abstraksi ) sehingga ia mengagap bahwa ide-ide bawaan itu sebenarnya tidak ada.
Seiring dengan perkembangan zaman, epistemologi yang hanya didasarkan kepada dunia ide dan pengamatan inderawi mengalami keterbatasan. Sehingga kita perlu perangkat yang dapat mengakomodasi unsur rasa yaitu intuisi ( kemampuan untuk memahami sesuatu secara langsung tanpa melalui proses penalaran dan pengkajian secara sadar )
Epistemologi yang dibangun oleh Plato dan Aristoteles diambil dan dipahami oleh pemikir-pemikir muslim seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina dan Ibnu Hazm, kemudian mereka menambahkan bahwa pengetahuan dapat diperoleh melalui wahyu. Menurut Al-Ghazali bahwa yang memiliki peran tertinggi dalam memperoleh pengetahuan adalah kasyf atau intuisi, walaupun ia jg tidak menampikan adanya peran rasio dan indera. Dalam hal ini al-Ghazali mendapatkan kritikan dari beberapa kalangan, karena epistemologi yang dikembangkan oleh al-Ghazali tidak mendasarkan pada hukum kausalitas.
Epistemologi yang semula berkembang di Yunani terutama dikembangkan oleh Plato dan Aristoteles yang bersifat rasional spekulatif itu, kemudian dikembangkan oleh Al-Kindi, Al-Farabi, dan Ibnu Sina menjadi rasional empirik, selanjutnya dikembangkan oleh Al-Ghazali menjadi empirik transendental, dan akhirnya sampai pada Ibnu Rusyd menjadi empirik eksperimental.
Pemikiran Fazlur Rahman ( epistemologi ) terletak pada wilayah humanities ( Islamic studies ) – normatif – historis. Epistemologi yang paling tepat untuk melihat epistemologi  Rahman adalah epistemologi al-Jabiri karena adanya benang merah yang menujukkan kesamaan, disamping perbedaan diantara keduanya.