Laman

Rabu, 27 Oktober 2010

Epistimologi Bayani

Oleh : wulanjar nurhayati
08410080
Bayani adalah suatu epistimologi yang mencakup disipiln-disiplin ilmu yang berpangkal dari bahasa Arab (yaitu nahwu, fikih dan ushul fikih, kalam dan balaghah).
Epistimologi ini dapat dipahami dari 3 segi yaitu :
1. Segi aktivitas pengetahuan
Dalam hal ini bayani dipahami sebagai “tampak-menampakkan” dan “paham-memahamkan”.
2. Diskursus pengetahuan
Bayani dipandang sebagai dunia pengetahuan yang dibentuk oleh ilmu Arab Islam murni, yaitu ilmu bahasa dan ilmu agama,
3. Sistem pengetahuan
Bayani dapat dipahami sebagai kumpulan dari prinsip-prinsip, konsep-konsep, dan usaha-usaha yang menyebabkan dunia pengetahuan terbentuk tanpa didasari.
Dalam sejarahnya, aktivitas bayani sudah dimulai sejak munculnya pengaruh Islam, tetapi belum merupakan kajian ilmiah seperti identifikasi keilmuan dan peletakkan aturan penafsiran teks. Tahap selanjutnya adalah mulai munculnya usaha untuk meletakkan aturan penafsiran wacana bayani, tetapi masih terbatas pada pengungkapan karakteristik ekspresi bayani dalam AL Qur’an. Dalam bahasa Arab sendiri bayani terbatas pada tinjauan bahasa dan gramatikanya saja. Proses peletakan aturan-aturan penafsiran wacana bayani (dalam bentuknya yang baku dan tidak dalam aspek linguistiknya saja) dilakukan oleh Imam al Syafi’i. Imam Syafi’I adalah orang yang pertama memposisikan al Sunnah sebagai nash kedua. Nash tersebut berfungsi sebagai mushari’ (penetap hukum), perluasan cakupan al Sunnah yang dengan tidak secara tegas membedakan antara “sunnah-tradisi” dan “sunnah-wahyu” serta pembatasan runag gerak ijtihad dengan nash (Al Qur’an dan Al Sunnah).
Al Syafi’I berhasil membakukan cara-cara berfikir yang menyakut hubungan antara lafaz dan makna serta hubungan antara bahasa dan teks al-Qur’an. Ia juga merumuskan aturan-aturan bahasa Arab sebagai acuan untuk menafsirkan al-Qur’an. Ia menjadikan al-Qur’an, Hadis,Ijma dan Qiyas sebagai sumber penalaran yang absah untuk menjawab persoalan-persoalan dalam masyarakat. Berpikir menurut beliau adalah berpikir dalam kerangka nash sehingga bayani terdapat 2 dimensi yang fundamental, yakni usul (prinsip-prinsip primer) yang darinya muncul prinsip sekunder (far’) dan “aturan-aturan” penafsiran wacana yang terungkap dari prinsip-prinsip fundamental tersebut.
Sedangkan al-Jahiz berusaha mengembangkan bayani tidak hanya terbatas pada “memahami” tetapi berusaha membuat pendengar atau pembaca faham akan wacana. Bahkan ia iangin membuat pendengar memahami, menenangkan pendengar, menuntaskan perdebatan dan membuat lawabn bicara tidak berkutik lagi. Ibn Wahab sendiri berusaha untuk mensistematikanya denagn cara merumuskan kembali teori bayani sebagai metode dan sistem mendapatkan pengatahuan.
Jadi pada kesimpulannya dalam epistimologi bayani sumber pengetahuan berasal dari teks atau nash. Analisis yang digunakan dalam bayani adalah dengan asl-far’, lafz-ma’na, jawhr-‘ard, dan khabr-qiyas. Pendekatan yang digunakan adalah dengan pendekatan lughawiyah. Sementara metode yang dipakai adalah qiyas, istinbat, tajwiz, ‘adah. Sehingga peran akal disini senagai justifikasi karena menggunakan argumen yang bersifat jadaliyyah. Sesuatu dapat dikatakan valid jika adanya kedekatan teks dan kenyataan. Prinsip dasar dari epistimologi bayani adalah infisal (atomistik) dan tajwis. Yang mendukung epistimologi ini adalah fuqaha, usuliyin dan mutakalimin. Hubungan antara subjek dan objek cenderung bersifat subjektif.

1 komentar:

  1. keterangannya sudah bagus dan lumayan lengkap, bagaimana kalau lebih diperingkas lagi? agar kita lebih udah untuk memahami.

    dr. Endah w

    BalasHapus