Laman

Selasa, 26 Oktober 2010

Catur Wahyuning I

EPISTEMOLOGI
Secara etimologis, kata Epistemologi berasal dari bahasa Yunani berarti episteme yang berarti knowledge (pengetahuan) dan logos berarti the study. Secara harfiah, epistemologi berarti “studi atau teori tentang pengetahuan”. Dalam diskursus filsafat, epistemologi merupakan cabang dari filsafat yang membahas asal usul, struktur, metode-metode dan kebenaran pengetahuan.
Dengan demikian, pengertian epistemologis lebih luas dari pada filsafat ilmu sebab pengetahuan itu ada yang ilmiah, ada yang biasa dan ada pula yang semi ilmiah. Pengetahuan yang ilmiah itulah yang disebut lmu.
Pada awalnya pembahasan epistemologi terfokus pada sumber pengetahuan dan teori tentang kebenaran. Ada tiga pokok yang dibicarakan dalam epistemologi
  1. Apakah penegtahuan bersumber pada akal pikiran semata, indera, atau intuisi.
  2. Apakah “kebenaran” pengetahuan itu apat digambarkan dengan pola korespondensi, koherensi ataukah praktis-pragmatis.
  3. Selanjutnya pembahasan epistemologi mengalami perkembangan, yakni pembahasannya terfokus pada sumber pengetahuan, proses dan metode untuk memperoleh pengetahuan, cara untuk membuktikan kebenaran pengetahuan, dan tingkat-tingkat kebenaran pengetahuan.
Berbicara tentang epitemologi (pengetahuan), plato dipandang sebagai peletak dasar idealisme-rasionalisme. Menurut Plato, hasil pengamatan inderawi tidak memberikan pengetahuan yang kokoh karena sifatnya selalu berubah-ubah sehingga tidak dapat dipercaya kebenarannya. Ia lebih percaya kepada apa yang ada di balik wilayah pengamatan indera, yaitu dunia ide. Dunia ide bersifat tetap, tidak berubah-ubah, kekal dan merupakan alam yang sesungguhnya ( tidak bertumpu pada fakta empiris ).
Aristoteles tidak sependapat dengan Plato, menurut dia, manusia memperoleh pengetahuan melalui proses pengamatan inderawi yang panjang ( abstraksi ) sehingga ia mengagap bahwa ide-ide bawaan itu sebenarnya tidak ada.
Seiring dengan perkembangan zaman, epistemologi yang hanya didasarkan kepada dunia ide dan pengamatan inderawi mengalami keterbatasan. Sehingga kita perlu perangkat yang dapat mengakomodasi unsur rasa yaitu intuisi ( kemampuan untuk memahami sesuatu secara langsung tanpa melalui proses penalaran dan pengkajian secara sadar )
Epistemologi yang dibangun oleh Plato dan Aristoteles diambil dan dipahami oleh pemikir-pemikir muslim seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina dan Ibnu Hazm, kemudian mereka menambahkan bahwa pengetahuan dapat diperoleh melalui wahyu. Menurut Al-Ghazali bahwa yang memiliki peran tertinggi dalam memperoleh pengetahuan adalah kasyf atau intuisi, walaupun ia jg tidak menampikan adanya peran rasio dan indera. Dalam hal ini al-Ghazali mendapatkan kritikan dari beberapa kalangan, karena epistemologi yang dikembangkan oleh al-Ghazali tidak mendasarkan pada hukum kausalitas.
Epistemologi yang semula berkembang di Yunani terutama dikembangkan oleh Plato dan Aristoteles yang bersifat rasional spekulatif itu, kemudian dikembangkan oleh Al-Kindi, Al-Farabi, dan Ibnu Sina menjadi rasional empirik, selanjutnya dikembangkan oleh Al-Ghazali menjadi empirik transendental, dan akhirnya sampai pada Ibnu Rusyd menjadi empirik eksperimental.
Pemikiran Fazlur Rahman ( epistemologi ) terletak pada wilayah humanities ( Islamic studies ) – normatif – historis. Epistemologi yang paling tepat untuk melihat epistemologi  Rahman adalah epistemologi al-Jabiri karena adanya benang merah yang menujukkan kesamaan, disamping perbedaan diantara keduanya.

2 komentar:

  1. Jika epistemologi al-Jabiri yang paling tepat untuk melihat epistemologi Rahman, maka seperti apakah epistemologi al-jabiri? mohon dijelaskan.
    thnks.

    dr: Ifah Nur L

    BalasHapus
  2. jika ini yang terbaik, bagaimana cara mengatasi keterbatasan epistemologi al-jabiri? pastinya epistemologi ini mempunyai keterbatasan kan?

    Dr. endah W

    BalasHapus